Letak Tujuh Sumur dan Pengertiannya
Buku Mengaji pada Sunan Gunungjati:
Menengok dan Membaca Filsafat Situs Makam
Sunan Gunungjati (Abdul Ghofar Abu Nidallah,
tanpa tahun terbitan:22-26;) menyebutkan letak
tujuh sumur yang menjadi tradisi “adus sumur
pitu”. Ketujuh
sumur itu mengandung pengertian
sifat-sifat dasar manusia, yang kadang-kadang
kusam tersaput debu zaman atau bahkan tertutup
lumut waktu. Sifat-sifat yang tumbuh seiring
perkembangan psikologis manusia itu dirangkum
dalam pengertian masing-masing sumur, yaitu:
1. Sumur Kanoman (Kaenoman/Muda)
Sifat merasa lebih muda dan tidak banyak
memiliki adalah dasar sifat tawadddu’, yang akan
melahirkan sikap rendah hati dan jauh dari sifat
adigang adigung adiguna , seperti takabur, ujub,
riya, dan sebagainya. Orang yang memiliki sifat
tawaddu’ cenderung
bisa menerima nasihat,
namun selalu bersemangat dalam menjalankan
syariat, sopan dalam bertingkah serta santun
dalam berkata-kata.
Adus ning Sumur Kanoman (mandi di
Sumur Kanoman) mendidik kita untuk memelihara
selalu, “seumur-umur” sifat merasa enom (muda)
agar selalu tetap segar, bersih dan berseri-seri.
Letak Sumur Kanoman berada di pertamanan
Kanoman, kompleks Astana Gunung Sembung.
2. Sumur kasepuhan (kasepuhan tua / dewasa)
Sifat merasa tua dan dewasa melahirkan
kelegaan untuk memberi kepada yang lebih muda,
lemah, dan miskin. Memberi perlindungan,
pemenuhan kebutuhan dan bimbingan, baik yang
bersifat material maupun spiritual. Dewasa dalam
berfikir dan bertindak, serta adil dalam arti bisa
menundukkan masalah pada tempatnya masing-
masing, yang dalam bahasa disebut sebagai
proporsional.
Sifat dewasa ini hendaknya disepuh
selalu, sehingga tetap berkilau seumur-umur
menghiasi perjalanan hidup kita hingga di batas
azal. Sumur Kasepuhan berada di pertamanan
Kasepuhan, Astana Gunung Sembung.
3. Sumur Jati (Hakiki, Sempurna)
Menjaga kesadaran akan kesejatian diri,
sejatining urip lan sejatining dumadi (sejatinya
hidup dan sejatinya asal-usul) kita. Sejatining
dumadi atau hakikat penciptaan manusia adalah
untuk menghamba, li ya’buduna
. Seorang hamba
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan
tuannya tanpa perhitungan untung-rugi. Semata-
mata hanya mengharap ke-lila-anya belaka.
Jika tuannya adalah Sang Pencipta yang
robbul alamin , seorang hamba yang haqqul
yaqqin bahwa tuannya yang Maha Adil dan Maha
Ilm telah mempertimbangkan kemanfaatan
perintah dan larangannya itu adalah demi
kemaslahatan hidup hambanya, niscaya akan lahir
sifat penghambaan diri yang total, meliputi
penyerahan dan pengorbanan demi mencapai
ridho, ampunan serta kasih-Nya belaka
Sedang sejatining urip atau hakikat
tujuan hidup manusia adalah sebagai kholifah fil
ardhi menjadi cah angon untuk
mengejawantahkan, menebar nilai dari sifat
keilahian di atas mayapada ini. Menjadi
penaggungjawab atas kelangsungan kehidupan
bumi yang tata tenteram kertaraharja gemah ripah
loh jinawi , dengan kata lain sejatinya kita ini
diamanati tuan menjadi wong kemit (penjaga)
yang ngopeni (memelihara) bumi ini dan menjaga
dengan agamanya. Sumur Jati berada di pelataran
sebelum memasuki gapura belimbing wulu.
4. Sumur Agung atau Kamulyan (Kemuliaan)
Ukuran keagungan manusia adalah
tingkat ketekunan melakukan peribadatan atau
takwanya, saat kita dapat menerjemahkan nilai-
nilai sholat dalam tatanan hidup sehari-hari.
Sholat adalah miniatur tata kemasyarakatan, dari
mulai syarat sholat, syarat sah sholat, rukun dan
sunnah sholat, serta muthilatus sholat adalah
dasar tata atur kehidupan mengkaji pelaksanaan
solat.
Ketika seseorang bertindak sebagai imam
maupun ma’mum, cara
memilih imam tentang
hukum imam yang dibenci serta adab ma’mum
yang masbuq semua adalah cermin tata
bermasyarakat yang sempurna. Maka memelihara
keagungan diri adalah adalah cara memelihara
dan menegakkan ajaran sholat, sebab dengannya
manusia menuju maqqoman mahmudah. Maqqom
yang agung. Tempat terpuji inilah bagian
terpenting dan makna pesan Kanjeng Sunan,
“ingsun titip
tajug lan fakir miskin” . Letak
Sumur
Agung ada di kompleks Masjid Dog Jumeneng.
5. Sumur tegang pati ( tega ing pati berani mati)
Tega ing pati berarti berani mati, tidak
takut menghadapi kematian. Pati raga, pati arta
maupun pati tahta, semua tak berarti apa-apa
sebab raga, harta, maupun tahta hanyalah kelap–
kelip penghias dunia yang pada saatnya pasti
akan padam dan sirna: raga siapa yang abadi
dalam keperkasaan kecantikan dan kegagahan?
Semua akan bertemu dengan kerentaan
yang berujung pada maut. Begitupun kekayaan
dan kekuasaan, keduanya bersifat fana. Maka
harus kita segarkan selalu sifat tidak takut dengan
kematian raga, harta mapun tahta. Namun harus
menjaga ketiganya itu sebagai amanah dalam
rangka menjalankan tugas sebagai kholifah fil
ardhi, dalam rangka menjaga dan memelihara
bumi dengan agamanya. Hanya satu yang tak
boleh mati dari kita adalah sekelip cahaya
keimanan dalam dada. Untuk mempertahankan
iman yang sekelip ini kita pertaruhkan raga, harta
dan tahta hingga mati.
6. Sumur Kejayan (Kejayaan)
Seumur-umur membersihkann dan
mencemerlangkan kembali sifat kejayaan manusia,
yakni tetap berada dalam bingkai syariat agama.
Jangan sampai tergoda untuk mencoba–coba
keluar daripadanya. Menjaga kejayaan diri dari
muslihat setan yang nyata-nyata menjadi
muslihat abadi bagi kita.. Jika kita lengah dan
tergiur dalam perang abadi ini dalam mencicipi
umpan–umpannya
yang membuat kita lena dalam
kenikmatan yang nisbi, maka hancurlah kejayaan
kita sebagai manusia.
7. Sumur Jalatunda
Sumur penghujung dari sumur pitu (tujuh
sumur) adalah Sumur Jalatunda. Jalatunda berarti
mata air yang sangat jernih. Mandi sumur
jalatunda hakikatnya adalah pencucian kembali
fungsi keberadaan kita ditengah-tengah
masyarakat, yakni sebagai sumber (mata) air. Air
laksana kehidupan, dibutuhhkan dan dicari.
Kehadirannya memberikan kesegaran dan
kesejukan serta kenyamanan. Air dalam takaran
tertentu adalah rahmat, sedang falam jumlah di
luar takaran kita sebagai manusia lagi-lagi adalah
agama.
Dalam terminologi bahasa Arab, jalla
berarti jelas atau terang (satu dari asmaul husna ),
sedangkan tunda dari nida yang dalam bentuk
shigat mudhoroah dibaca yunda berarti terpanggil,
dengan ta’dhomir
mukhothob terbaca tunda
berarti engkau terpanggil.
Maka, jika keenam sifat dasar manusia
yang sudah tinutur tadi terus-menerus, seimur-
umur selalu dibersihkan agar tidak ternoda,
niscaya jiwa kita akan selalu merasa terpanggil
untuk melaksanakan syariat. Aturan agama bukan
lagi merasa beban, tapi adalah sebagai panggilan,
kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam kondisi
seperti ini aura yang menyelimuti jiwa kita
niscaya akan memancar, menyemburat memenuhi
angkasa, menembus sidratil muntaha , maqom
yang tinggi di sisi Allah
azza Wa Jall
Tidak ada komentar:
Posting Komentar